BAHAYA TEMPE TRANSGENIK

Kebutuhan Kedelai Nasional
Kebutuhan kedelai nasional tahun 2012 sebanyak 2,4 juta ton. Angka tersebut tercukupi dengan 70 persen impor. Inpor itu berasal  dari Amerika Serikat sebanyak 1,8 juta ton, lalu dikuti Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.824 ton, dan Brazil 13.550 ton. Dan sisanya produksi dalam negeri yang dihasilkan oleh kedelai lokal. Produksi kedelai tsb  sebanyak 779.800 ton.
Distribusi Alokasi Kedelai Nasional
Sementara itu, kebutuhan kedelai 2012 sebanyak 2,4 juta ton bakal didistribusi ke perajin tahu tempe sebanyak 83,7 persen (1,8 juta ton), Kecap dan Tauco 14,7 persen ( 325.220 ton), perbenihan 1,2 persen (25.843 ton), dan pakan 0,4 persen (8.319 ton).
Kedelai Impor adalah Kedelai Transgenik
Apakah kita tahu bahwa sebagian besar impor kedelai kita yang  berasal dari Amerika Serikat adalah kedelai transgenik?
Selain transgenik, bahkan yang saya dengar kedelai yang masuk di Indonesia hanya ampas kedelainya saja sementara sari patinya (gizi) sudah menghilang. Entah diambil saat di negara asalnya atau memudar karena lamanya proses pengiriman kedelai,” ungkap peneliti pemulia kedelai dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Harry Is Mulyana menilai,
Tulisan Bahaya Kedelai Transgenik
Berikut ini adalah tulisan yang berkaitan dengan bahaya kedelai transgenik.
Apa yang tidak berbahaya di Indonesia? Beberapa waktu yang lalu Bakso membuat gempar masyarakat, karena ternyata mengandung formalin. Lalu disusul ditemukannya pada ikan asin, permen, tahu serta tempe. Sepertinya hampir semua makanan di Indonesia sudah tidak aman lagi dikonsumsi. Ini dikarenakan terlalu longgarnya pengawasan pemerintah soal makanan, minuman serta obat-obatan.
Disaat harga kedelai melambung tinggi, tersiar kabar lain di TV. Ternyata sebagian besar kedelai yang masuk ke Indonesia merupakan kedelai kontroversial, yaitu kedelai transgenik. Dan banyak sekali negara yang menolak produk transgenik tersebut.
Masyarakat Uni Eropa jauh-jauh hari mengharuskan produk transgenik berlabel. Bukan rahasia lagi, produk transgenik tidak populer di Eropa. Bahkan terhadap produk GM (genetically modified), sejumlah negara Eropa khawatir, bahkan melarang (membatasi) penanaman dan mengimpor makanan “terkontaminasi” tanaman GM (dijuluki “frankenfood”). Sikap skeptis Eropa didasari oleh tiga hal, yakni manipulasi gen bertentangan dengan kodrat alami dan tidak etis, hasilnya berbahaya bagi manusia, dan berdampak buruk bagi lingkungan.
Begitu pula di Jepang. Pemerintah Jepang mewajibkan pelabelan pada 28 produk yang mengandung makanan rekayasa genetika.
Negara-negara seperti Jepang, Uni Eropa, Korea, Taiwan, Australia, Singapura, beberapa negara Timur Tengah, serta Erropa Timur, menetapkan standar dan melakukan sendiri analisis keamanan pangan terhadap produk-produk transgenik impor. Tapi, hingga saat ini Pemerintah belum melakukan kajian untuk menetapkan jenis kedelai, jagung, dan bahan pangan transgenik apa yang boleh masuk di Indonesia.

Dari Mana Kedelai Transgenik berasal?

Sebenarnya produk transgenik yang masuk ke Indonesia bukan hanya Kedelai. Saat ini empat tanaman transgenik utama adalah kedelai, jagung, kanola, dan kapas. Sebagian besar kedelai di Indonesia berasal dari Amerika. Dan dari komoditas kedelai AS jelas-jelas hasil rekayasa gen. Di AS diperkirakan, sekitar 60% dari makanan olahan di pasar swalayan – mulai dari sereal untuk sarapan hingga softdrink – berisi bahan GM, terutama yang berbahan kedelai, jagung, atau kanola. Begitu pula sayuran segar merupakan produk GM. Produk makanan dari bahan transgenik juga dipasarkan di beberapa negara (Scientific American, April 2001).

Bahaya Bagi Lingkungan

Tanaman itu merupakan hasil rekayasa gen dengan cara disisipi satu atau sejumlah gen (baca boks “Teknik Membuat ‘Makhluk’ Transegenik”). Gen yang dimasukkan itu – disebut transgene – bisa diisolasi dari tanaman tidak sekerabat atau spesies lain sama sekali. Karena berisi transgene tadi, tanaman itu disebut genetically modified crops (GM crops). Atau, organisme yang mengalami rekayasa genetika (genetically modified organisms, GMOs).
Transgene umumnya diambil dari organisme yang memiliki sifat unggul tertentu. Misal, pada proses membuat jagung Bt tahan hama, pakar bioteknologi memanfaatkan gen bakteri tanah Bacillus thuringiensis (Bt) penghasil racun yang mematikan bagi hama tertentu. Gen Bt ini disisipkan ke rangkaian gen tanaman jagung. Sehingga tanaman resipien (jagung) juga mewarisi sifat toksis bagi hama. Ulat atau hama penggerek jagung Bt akan mati. Bahkan kupu-kupu (Lepidoptera) pengisap nektar bunga jagung bisa koit. Begitu pun racun pada kapas Bt dapat membunuh boll-worm, hama perusak tanaman kapas.
Repotnya, selain efektif melawan hama sasaran, toksin juga teridentifikasi mematikan serangga lain (nontarget). Bila hal ini terjadi, salah satu komponen ekosistem akan musnah, dan keseimbangan alam akan terganggu.
Penelitian di Universitas Cornell oleh entomolog John Losey dan koleganya, menunjukkan hasil, kupu-kupu raja yang memakan serbuk sari jagung Bt tingkat kematiannya tinggi dan pertumbuhan lambat. Serbuk sari jagung transgenik berisi toksin Bt menyebabkan kematian nyaris separuh (44%) dari ulat kupu-kupu raja. Larvanya pun ikutan tewas.
Ilmuwan protanaman GM tetap arogan dan bersikukuh, racun Bt cuma membunuh ulat tertentu, dan tidak mampu membunuh hewan lain maupun manusia yang mengkonsumsi jagung Bt. Jadi, tidak perlu mengkhawatirkan nasib serangga berguna, predator pemangsa ulat, burung atau hewan ternak pemakan daun jagung Bt. Tidak berpengaruh buruk terhadap flora dan fauna dalam tanah dan sekitarnya.
Sebaliknya, ilmuwan Swiss menyimpulkan, tanaman jagung Bt merugikan serangga bermanfaat dan racun Bt terakumulasi dalam tanah sehingga merugikan ekosistem tanah. Juga penanaman secara luas varietas Bt mempercepat terjadi evolusi resisten racun Bt pada hama serangga. Sekali hama menjadi resisten terhadap racun Bt, akan sulit mengefektifkan pengendalian hama secara hayati. Kalau itu terjadi serentak dan meluas, betapa “evolusi hijau” kedua akan terjadi. Tatanan ekosistem dan kelestarian hayati pun akan terganggu.
Dari kacamata lingkungan, menurut Prof. Dr. Hari Hartiko dari PAU Bioteknologi UGM Yogyakarta (Berita Bumi, Juni 2000), pelepasan atau pemanfaatan jenis asing (tanaman rekayasa genetika) di alam terbuka sukar ditangani karena ada kemungkinan penyebaran gen asing (gen yang disisipkan ke dalam tanaman GM) berpindah ke tanaman sekerabat yang liar atau mengubah tatanan spesifik atau sifat unggul tanaman GM itu sendiri. Seperti pada kasus serbuk sari kanola (Brassica napus) penghasil minyak nabati, yang membuahi kerabatnya dan kerabat jauhnya. Di samping ada kemungkinan produk GM dapat mengganggu kesehatan manusia dan ternak.
Lebih lanjut Hari Hartiko khawatir, perpindahan gen dapat juga terjadi pada uji lapangan, meski di lokasi yang sangat terisolasi untuk mencegah terjadi penyerbukan silang. Karena di alam banyak faktor yang berpengaruh, seperti angin, kupu-kupu, kumbang, tawon, dan burung. Tidak ada jaminan serbuk sari tidak berpindah ke kerabat tanaman itu atau gulma sehingga menjadi lebih kuat karena resisten terhadap hama. Jika kerabat dekat tanaman Bt berupa gulma, bisa-bisa menjadi resisten dan sukar dikendalikan.
Terjadinya penyerbukan silang yang akan memindahkan gen-gen asing ke tanaman lain (gulma), bisa memunculkan gulma super yang resisten hama penyakit dan herbisida. Gen-gen pengendali hama yang menyebar ke tanaman liar itu akan melenyapkan secara besar-besaran spesies serangga dan hewan. Persilangan antara tanaman transgenik dengan tanaman liar sangat mungkin terjadi, seperti dilaporkan Rissler dan Mellon, yaitu antaraBrassica napa transgenik dengan kerabat liarnya Brassica campestrisHirscheldia incana, dan Raphanus raphanistrum (Mae-Wan Ho, 1997).
Kekhawatiran terhadap produk GM memunculkan “Surat Terbuka Ilmuwan Dunia kepada Seluruh Pemerintah Dunia”. Surat tertanggal 21 Oktober 1999 itu ditandatangani 136 ilmuwan dari 27 negara. Isinya, antara lain meminta penghentian segera seluruh pelepasan tanaman rekayasa genetika (Genetically Modified Crops) dan juga produk rekayasa gen (Genetically Modified Products). Alasannya, tanaman GM tidak memberikan keuntungan. Hasil panennya secara signifikan rendah dan butuh lebih banyak herbisida. Makin memperkuat monopoli perusahan atas bahan pangan dan memiskinkan petani kecil. Mencegah perubahan mendasar pada upaya pertanian berkelanjutan yang dapat menjamin keamanan pangan dan kesehatan dunia.

Resiko Kesehatan

Selain itu juga berbahaya terhadap keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia dan hewan. Penyebaran horizontal gen penanda (marker genes) yang tahan antibiotika dalam tanaman transgenik dapat mempersulit pengobatan penyakit menular yang mengancam kehidupan, dan penyakit itu kemudian akan meledak dan menyebar ke seluruh dunia.
Temuan terbaru menunjukkan, penyebaran horizontal gen penanda dan DNA transgenik lainnya dapat terjadi, tak hanya melalui sistem pencernaan, melainkan juga lewat saluran pernapasan karena mengirup serbuk sari atau debu. Cauliflower mosaic viral promoteryang banyak digunakan dalam tanaman transgenik dapat meningkatkan transfer gen secara horisontal dan berpotensi menghasilkan virus baru yang menyebarkan penyakit baru (Berita Bumi, Oktober 1999).
Negara yang melakukan penanaman komersial produk transgenik biasanya melakukan analisis keamanannya, termasuk konsekuensi langsung dan tidak langsung. Konsekuensi langsung, misalnya, kajian apakah terjadi perubahan nutrisi, munculnya efek alergi, atau toksisitas akibat rekayasa genetika.
Konsekuensi tidak langsung, misalnya, efek baru yang muncul akibat transfer gen, perubahan level ekspresi gen pada tanaman sasaran, serta pengaruhnya terhadap metabolisme tanaman. Beberapa efek lain yang seringkali tidak dapat diantisipasi perlu juga dikaji, misalnya, gene silencing, interupsi sekuens penyandi, atau berubahnya sistem regulasi gen-gen.

Karena pangan merupakan hal yang sangart kompleks, maka kajian keamanan pangan yang sederhana( sebagai contoh menganalisis kandungan peptisida, logam berat, dan senyawa toksik dalm pangan) tidak dapat dilakukan.
Berkait dengan pangan transgenik dikembangkan pendekatan substantial equivalence, yaitu membandingkan pangan transgenik dengan pangan konvensionalnya. Bila keduanya sama (tidak berarti harus identik), memiliki status nutrisi sama serta serta tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan, maka pangan transgenik tersebut aman dikonsumsi.

Namun kontroversi masih terjadi, karena sebagai produk teknologi baru risiko jangka panjangnya belum diketahui. Ilmuawan sendiri, tidak akan pernah mampu menyatakan bahwa suatu produk 100 persen aman karena risiko sekecil apapun akan tetap ada.
Riskio ini juga berkait dengan pola konsumsi. Di AS, misalnya, kedelai rata-rata melalui proses pengolahan panjang sehingga DNA maupun protein transgenik rusak sebelum dokonsumsi. Di Indonesia, kedelai hanya melalui proses pengolahan pendek sebelum menjadi tempe atau tahu.
Namun sebaliknya, pihak produsen (Novartis) tetap menyatakan makanan rekayasa gen aman. Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) menyatakan, strain baru tidak perlu pelabelan khusus karena tidak ada bedanya dengan hibrida hasil persilangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun setuju makanan hasil rekayasa genetika.

Peluang Indonesia

Indoensia negara agraris. Negara subur makmur. Namun, sungguh ironis, negara yang luas dan subur ini ternyata tidak mampu mencukupi panggannya sendiri. Kedelai, beras, jagung, dll masih import. Padahal jika mau, Indonesia pasti bisa mencukupi kebutuhan primernya sendiri. Ini semua hanya tergantung pemerintah dan para petaninya.
Penolakan masyarakat Eropa, Jepang, dan Amerika menyebabkan pangsa pasar produk pertanian bukan transgenik meningkat pesat. Hal ini sebenarnya menjadi kesempatan emas petani-petani Indonesia dengan dukungan Pemerintah. Namun sialnya meskipun Indonesia berhasil meningkatkan produksi kedelai non-transgenik, sepertinya tidak akan laku untuk dijual di luar negeri. Sampai saat ini produk pertanian Indonesia banyak ditolak oleh banyak negara karena kandungan pestisidanya yang terlalu banyak. Namun, paling tidak jika produksi kedelai bukan transgenik meningkat dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri terlebih dahulu. Kalaupun ingin ekspor dapat disiasati dengan penggalakan tanaman organik.

Tempe tahu antara Indonesia dan Jepang

Sedikit tambahan, jika di Indonesia kedelai transgenik lebih digemari, karena cara pengolahannya yang lebih mudah, dan hasilnya pun lebih menarik (putih bersih). Sebaliknya, di Jepang justru di jauhi. Karena di Jepang saat ini lebih trennya lebih mengarah ke makanan yang menyehatkan. Jadi jika ada makanan yang menurut mereka meragukan, mereka tinggalkan.
Meskipun berbahan baku yang sama, namun pengolahannya sangat jauh berbeda. Di Jepang, penggolahannya sangat bersih. Lihat saja dalam film dorama Jepang 1 Litre of Tears, pengolahan tahu home industrinya dengan alat-alat yang canggih. Rasa tahu dan tempe buatan Jepang jauh lebih enak daripada di Indonesia, tapi harganya juga tentu jauh lebih mahal, karena mereka memakai kedelai yang non-transgenik yang harganya jauh lebih mahal disana.

Perbaiki kualitas

Tulisan ini bukan dibuat untuk menakut-nakuti dan larangan membeli tahu tempe. Dengan tulisan ini saya sebagai salah satu konsumen yang cinta tahu tempe berharap makanan yang kita makan benar2 aman dikonsumsi.

Komentar